Minggu, 11 Juli 2010

cerita pendek di malam rabu.

8 Juli 2010.
Suatu malam, sekitar pukul 8, di restoran mewah kawasan elit kota ini. Satu keluarga, tanpa Ayah, membunuh waktu untuk sekedar makan malam bersama. Tampak seperti biasa, makan malam keluarga pada umumnya. Pelayanpun menawarkan menu-menu mahal yang ada di restoran itu. Aku memilih menu yang tak biasa ku makan. Maklumlah, di sini aku hidup mandiri.
Wanita sebelah ku terlihat tak mengerti menu-menu yang ada di restoran mewah ini. Maklumlah, sejauh yang ku kenal dia memang begitu sederhana, dan memang tak membiasakan diri untuk bermewah-mewahan. Akhirnya ku pilihkan makanan untuknya. Dia malah menolak. “Minum aja, udah kenyang ni perut kan tadi juga udah makan” Katanya dengan pelan.
Waktu berjalan seperti biasa, sembari menunggu pesanan kami,tiba-tiba wanita yang duduk disebelah ku berceletuk “udah jam segini, mau solat isya dulu”. Dia berbicara dengan bahasa yang penuh kelembutan, air muka nya benar-benar menujukkan dia ingin sekali menghadap Tuhan. Aku tak bisa menolak, dengan langkah gontai aku mengantarkan dia ke musolla yang terletak tepat di pintu masuk restoran ini. Cukup jauh memang jaraknya dari tempat kami makan.
Di perjalanan menuju musolla, si wanita tak berhenti berbicara. Ia tampak senang. Dapat ku lihat itu dari senyum dan muka nya ,walaupun mulai terlihat garis kerutan. Aku hanya membalas kata-katanya dengan bahasa datar. Pikiranku hanya tertuju pada arsitektur restoran tersebut yang terlihat begitu asri. Dan akhirnya, sampailah kami di musolla kecil ini. Sangat kecil.
Aku masih tetap mengagumi keasrian restoran ini, arsitekturnya !
“Dimana tempat wudhu?” Tanya si Wanita tadi. Aku berjalan ke arah belakang Musolla. Ku tunjukkan sumur kecil beratapkan jerami. Si wanita langsung membuka jilbabnya, menggulung baju ,celananya, dan menghidupkan kran air. Seketika air jernih itu dibasuhkan ke tubuhnya. Satu persatu. Sementara aku hanya duduk di kursi tepat di sebelah tempat wudhu tersebut. Tak ada niat ku untuk ikut solat. Bahkan aku sibuk dengan telepon genggam ku sendiri.
Selesai wudhu, si wanita masuk ke mussola kecil itu. Lagi-lagi aku hanya duduk di kursi depan. Menunggu.
“Bangunannya bagus, berapa ya bayar arsiteknya” kata-kata polos yang sempat diceletukkan oleh si wanita sembari mengenakan mukena. Aku hanya diam, sebentar aku masuk ke mussola itu. Dengan nada datar aku hanya menjawab , “Pasti mahal ! ” sambil melihat ke atas bumbung bangunan ini.
Si wanita pun mulai solat, sangat kusyuk. Keheningan pun mulai menyapa. Ada getaran-getaran aneh yang ku rasakan saat duduk di depan musola ini. Entah apa. Ku coba untuk tak merasakannya. Tapi getaran itu semakin lama semakin terasa ‘berbicara’.
Sekitar 10 menit aku menunggu, sangat lama untuk ukuran orang solat. Dengan penasaran , aku mengintip di pintu, lewat kaca-kaca di pintu kulihat si wanita tadi yang sedang berdoa. Ia duduk bersila, mukena masih ia kenakan, bahkan air wudhu tadi masih bisa ku lihat di wajahnya. Tangannya yang mengeriput terlihat menengadah. Matanya terpejam. Aku mulai penasaran, apa yang di doakan oleh wanita ini. Ku tempelkan telingaku di kaca pintu itu, sambil menatap penuh rasa ingin tahu.
Seketika semuanya berubah. Aku tak sanggup mendengarkan suara yang ku dengar. Mata ini seketika memerah, aku menangis di tengah keheningan. Dengan lemas ku masukkan telepon genggam yang sedari tadi di tanganku ke saku celana. Aku terduduk diam di kursi.
Begitu indahnya doa yang ia susunkan, begitu banyak harapan yang ia tanamkan, begitu banyak ketakutan, kesedihan, kegembiraan yang terbaca di celah-celah doanya. Dan semuanya tentang aku. Ada namaku di sebut di doa nya. Entah berapa ribu kali nama ku yang ia sebut di doanya. Keningnya telah menghitam. Dan entah berapa kali ia bersujud di hadapan Tuhan, hanya karena merindukan ku yang merantau di kota orang.
Aku pun menghapus airmata tadi. Berusaha untuk tidak terlihat menangis, aku berkata dengan jantung yang berdetak hebat,
“Yuk mamak, kita ke atas lagi, pesanan udah dateng.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar